Beranda | Artikel
Hukum Membuka Aurat Terhadap Perempuan Lainnya
Selasa, 4 Juli 2006

HUKUM MEMBUKA AURAT BAGI SEORANG PEMBANTU (PEREMPUAN) TERHADAP TUAN RUMAH YANG PEREMPUAN.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami mempunyai pembantu wanita, bolehkah ia membuka auratnya di depan para penghuni rumah yang perempuan, perlu diketahui ia adalah wanita muslimah?

Jawaban
Seorang perempuan kepada perempuan lain, boleh saja melihat mukanya, kepala, kedua tangannya, lengan bawah, kedua kakinya dan betisnya baik ia itu muslim ataupun kafir. Berdasarkan pendapat yang benar dalam penafsiran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَوْ نِسَائِهِنَّ atau wanita-wanita[An-Nur : 31]

Bahwasanya yang dimaksud wanita di sini adalah Al-Jins (jenis) bukan Al-Wafsu (sifat). Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita di sini adalah wanita-wanita Islam, dengan demikian tidaklah boleh bagi seorang wanita Islam membuka aurat kepada wanita kafir. Dan yang tepat adalah yang dimaksudkan dengan kata wanita-wanita di dalam ayat tersebut adalah Al-Jins (jenisnya) yaitu wanita-wanita dan yang termasuk jenis wanita, dengan demikian boleh bagi perempuan muslim membuka sebagian auratnya kepada wanita kafir.

Disini saya jelaskan pada satu masalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan melihat aurat perempuan lain, lalu sebagian wanita menyangka boleh saja seorang wanita memakai pakaian-pakaian pendek atau ketat yang tidak sampai ke lutut dan boleh memakai baju yang terlihat bagian dadanya sehingga tampak lengan atasnya, dada dan lehernya. Pendapat yang demikian salah, karena hadits ini menjelaskan ketidak-bolehan wanita melihat aurat perempuan lain, maka yang dibicarakan di sini adalah yang melihat bukan yang memakai, dan apapun bagi yang memakai maka wajib memakai pakaian yang menutup tubuhnya.

Adapun pakaian-pakaian isteri-isteri para sahabat sampai kepada pergelangan tangan, kaki dan kedua mata kaki, dan kerap kali ketika hendak pergi ke pasar, mereka memakai pakaian yang panjang sampai menutupi perbatasan hasta kaki. Demikian itu itu untuk menutupi kedua kaki mereka. Maka di sini terdapat perbedaan antara memakai dan melihat, yaitu bilamana seorang perempuan memakai pakaian yang menutupi auratnya, dan ini mengangkat pakaiannya karena suatu hajat atau lainnya, lantas terbukalah betisnya maka tidaklah haram bagi perempuan lain melihatnya.

Demikian pula bilamana perempuan tersebut berada di antara perempuan-perempuan lain, sedangkan ia memakai pakaian (baju) yang menutup auratnya. Lalu kelihatan payudaranya, karena ia ingin menyusukan anaknya, ataupun kelihatan dadanya, karena suatu sebab, maka yang demikian tidaklah mengapa bila kelihatan di depan mereka. Adapun wanita yang sengaja memakai pakaian yang pendek, maka yang demikian tidak boleh, karena hal tersebut mengandung keburukan dan kerusakan.

[Durus Wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/264]

HUKUM MENAMPAKKAN RAMBUT DI HADAPAN WANITA NON MUSLIMAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah wanita membuka rambutnya di hadapan wanita-wanita non muslim, sedangkan mereka menceritakan kondisinya kepada kerabat laki-laki mereka yang juga bukan muslim?

Jawaban.
Pertanyaan ini berdasar pada perselisihan para ulama tentang penafsiran firman Allah.

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita ..” [An-Nur/24 ; 31]

Kata ganti dalam ayat أَوْ نِسَائِهِنَّ“ atau wanita-wanita, para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagian menafsirkan sebagai Al-Jins, yang maksudnya adalah jenis wanita secara umum. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Wasfu (sifat), yaitu hanya wanita-wanita yang beriman saja. Menurut pendapat pertama, diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan rambutnya dan wajahnya di hadapan para wanita kafir dan tidak diperbolehkan menurut pendapat kedua. Kami cenderung memilih pendapat pertama, karena lebih mendekati kebenaran. Karena seluruh wanita itu sama, tidak berbeda antara kafir dan muslimah, apabila tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Adapun apabila dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, misalnya wanita yang melihat akan memberitahukan kondisinya kepada kerabat laki-laki-lakinya, maka kekhawatiran timbulnya fitnah lebih didahulukan, dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya, semisal badannya, kedua kakinya, rambutnya dan lainnya di hadapan wanita lain, baik itu wanita muslimah atau non muslimah.

[Fatawal Mar’ah 1/73]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Ahmad Amin Syihab, Penerbit Darul Haq]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1878-hukum-membuka-aurat-terhadap-perempuan-lainnya.html